Nama : Putri Chelline Syari
NPM : 25211638
Kelas : 4EB08
Saiful
Bachri
Suhadak
Muhammad
Saifi
Fakultas
Ilmu Administrasi
Universitas
Brawijaya Malang
ABSTRACT
This
study aims to obtain empirical evidence about
the effect of the Capital Adequacy Ratio (CAR), Non Performing
Financing (NPF), Operational
Efficiency Ratio (OER) and the Financing to
Deposit Ratio (FDR) to the Return On Assets
(ROA) and to determine the variable that give the
dominant influence on the
profitability of Islamic banks. The
populations used in this study were all Islamic Banks
operating in Indonesia. Purposive sampling was used a sampling method,
obtaining three Islamic Banks.
Secondary data was used as a form
of financial statements quarterly publicized; starting
from the first quarter of 2009 to the third quarter of 2012. The data analyses employed the use of multiple linear
regression approach. The results of this study indicate that the variable Operational Efficiency Ratio (OER) has a significant
influence on the Return on Assets
(ROA) with a
significance level of 0,000. While,
the variable Capital Adequacy Ratio (CAR), Non Performing Financing (NPF) and the Financing to
Deposit Ratio (FDR) did
not significantly affect to the Return
on Assets (ROA) with
a significance level of each variable
of 0,641 (CAR),
0,166 (NPF)
and 0,440 (FDR).
Variable that affect dominantly to the Return on Assets (ROA) is the
Operational Efficiency Ratio (OER) with a beta
value of 0,563.
Keywords: Financial
Ratios, Financial Performance
1. PENDAHULUAN
Pengembangan
sistem perbankan syariah di Indonesia dilakukan dalam kerangka dual-banking
system atau sistem perbankan ganda dalam kerangka Arsitektur Perbankan
Indonesia (API), untuk menghadirkan alternatif jasa perbankan yang semakin
lengkap kepada masyarakat Indonesia. Secara bersama-sama, sistem perbankan
syariah dan perbankan konvensional secara sinergis mendukung mobilisasi dana
masyarakat secara lebih luas untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan bagi
sektor-sektor perekonomian nasional (http://www.bi.go.id).
Pada tanggal 10
November 1998 pemerintah menetapkan UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas
UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan. Terdapat dua materi pokok penting dalam
UU No. 10 Tahun 1998 yang mendorong perbankan syariah tumbuh dan berkembang
pesat dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini, yaitu penegasan kemandirian
Bank Indonesia dalam pembinaan dan pengawasan perbankan dan kemudahan
pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan usaha bank, dengan dimungkinkannya
bank umum untuk menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional dan sekaligus
menjalankan pola pembiayaan dan kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah
(Dendawijaya, 2009:2).
Perkembangan
perbankan syariah di Indonesia dipengaruhi karena bank syariah dalam
menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah. Salah satu prinsip
syariah adalah menerapkan prinsip bagi hasil yang bebas dari riba
(bunga).
Secara perspektif Islam keberadaan riba dilarang, sebagaimana firman Allah swt dalam
QS. Ali Imran ayat 130 :
Yaa ayyuhaa
alladziina aamanuu laa ta/kuluu alrribaa adh’aafan
mudaa’afatan waittaquu allaaha la’allakum tuflihuuna.
“Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah
kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Seiring dengan
bertambahnya jumlah Bank Umum Syariah, Unit Usaha Syariah, dan Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah, industri perbankan syariah juga mengalami peningkatan volume
usaha yang cukup besar. Berdasarkan data statistik Bank Indonesia tentang
Perbankan Syariah sampai dengan Januari 2012, menunjukkan perkembangan kegiatan
usaha perbankan syariah sebagai berikut:
Gambar 1 Pertumbuhan Aset, DPK, dan
Pembiayaan Perbankan Syariah
Penilaian
kesehatan bank dapat dilaksanakan melalui analisis terhadap laporan keuangan.
Menurut Riyadi (2006:169), tingkat kesehatan bank adalah penilaian
atas suatu kondisi laporan keuangan bank pada periode dan saat tertentu sesuai
dengan standar yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Standar yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia diatur dalam ketentuan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.
9/1/PBI/2007 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum berdasarkan
Syariah. Pengukuran tingkat kesehatan bank syariah tersebut diatur dalam
ketentuan Surat Edaran No. 9/24/DPbS tanggal 30 Oktober 2007, yang mengatur
tentang tata cara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum berdasarkan Prinsip
Syariah.
Variabel yang
digunakan dalam penelitian ini merupakan variabel yang dapat mewakili kesehatan
bank menurut aspek keuangan yaitu: Capital, Assets, Earning,
dan Liquidity. Variabel Capital Adequacy Ratio (CAR) mewakili
kecukupan modal, Non Performing Financing (NPF) sebagai rasio pembiayaan
bermasalah dapat mewakili kesehatan kualitas aset, Operational Efficiency
Ratio (OER) merupakan rasio efisiensi yang diukur menurut beban operasional
terhadap pendapatan operasional yang mencerminkan tingkat efisiensi
operasional, dan Financing to Deposit Ratio (FDR) merupakan rasio
likuiditas. Sedangkan variabel yang digunakan untuk mengukur kinerja
profitabilitas adalah Return On Assets (ROA).
Obyek
yang diteliti dalam penelitian ini adalah bank syariah dengan periode
pengamatan tahun 2009-2012. Pemilihan bank syariah sebagai sampel penelitian
karena perbankan syariah merupakan perbankan yang berlandaskan nilai ajaran
agama Islam yang tergolong baru namun mampu berkembang secara pesat dengan
pertumbuhan aset, jaringan operasional, dan pangsa perbankan syariah yang terus
meningkat dan mampu bersaing dengan perbankan konvensional
meskipun dalam pertumbuhannya masih jauh berada di bawah pangsa perbankan
konvensional di Indonesia.
Berdasarkan
pernyataan-pernyataan yang telah diuraikan, maka dalam penelitian ini peneliti
akan menguji bagaimana pengaruh Capital Adequacy Ratio (CAR), Non
Performing Financing (NPF), Operational Efficiency Ratio (OER), dan Financing
to Deposit Ratio (FDR) terhadap Return On Assets (ROA). Dengan
demikian, penelitian ini berjudul “Pengaruh Rasio Keuangan Terhadap Kinerja
Keuangan Bank Syariah.”
2. KAJIAN PUSTAKA
2.1 Profitabilitas Bank Syariah
Tugas
utama bank syariah sebagaimana bank umum lainnya adalah mengoptimalkan laba,
meminimalkan resiko dan menjamin tersedianya likuiditas yang cukup. Potensi
risiko yang dihadapi bank syariah sama halnya yang dialami oleh bank
konvensional, kecuali resiko tingkat bunga dalam memperoleh imbal jasa atas
usaha operasionalnya.
Profitabilitas
atau laba dalam bahasa arab mempunyai makna pertumbuhan dalam dagang. Allah swt
berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 16:
Ulaa-ika alladziina isytarawuu aldhdhalaalata
bialhudaa famaa rabihat tijaaratuhum wamaa kaanuu
muhtadiina.
“Mereka
itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, Maka tidaklah beruntung
perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.”
Ayat
di atas memberi kesimpulan bahwa pengertian
laba adalah kelebihan atas modal pokok atau pertambahan pada modal pokok yang
diperoleh dari proses perniagaan.
Profitabilitas
pada bank syariah harus dibagi antara bank dengan para penyandang dana, yaitu
nasabah investasi, para penabung dan para pemegang saham sesuai dengan nisbah
bagi hasil yang diperjanjikan. Bank dapat menegosiasikan nisbah bagi
hasil atas investasi mudharabah sesuai dengan tipe yang ada, baik
sifatnya maupun jangka waktunya. Bank juga dapat menentukan nisbah bagi
hasil yang sama atas semua tipe, tetapi menetapkan bobot (weight) yang
berbeda-beda atas setiap tipe investasi yang dipilih oleh nasabah.
Menurut
Arifin (2005:58), rasio yang biasanya dipakai untuk
mengukur kinerja bank, yaitu Return On Assets (ROA). ROA merupakan perbandingan antara pendapatan
bersih (net income) dengan rata-rata aktiva (average assets) atau
perbandingan dari laba sebelum pajak dan zakat terhadap total aset. ROA dapat
dihitung sebagai berikut:
ROA =
Perhitungan
ROA diatas sesuai dengan SE BI No. 9/24/DPbS tanggal 30 Oktober 2007 tentang
penilaian kesehatan bank syariah.
Variabel
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Capital Adequacy Ratio, Non
Performing Financing, Operational Efficiency
Ratio, dan Financing to Deposit Ratio dijadikan
variabel independen yang mempengaruhi ROA didasarkan atas hubungannya dengan
tingkat risiko bank yang bermuara pada profitabilitas bank (ROA).
2.2 Capital Adequacy Ratio (CAR)
Modal
merupakan salah satu faktor penting dalam rangka pengembangan usaha bisnis dan
menampung resiko kerugian. Besarnya modal suatu bank akan berpengaruh pada kemampuan
suatu bank secara efisien menjalankan kegiatannya, dan dapat mempengaruhi
tingkat kepercayaan masyarakat (khususnya untuk masyarakat peminjam) terhadap
kinerja bank. Kepercayaan masyarakat akan terlihat dari besarnya dana giro,
deposito, dan tabungan yang melebihi jumlah setoran modal dari para pemegang
sahamnya.
Rasio
CAR digunakan untuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank untuk menunjang
aktiva yang mengandung atau menghasilkan resiko. Semakin tinggi CAR maka
semakin kuat kemampuan bank tersebut untuk menanggung risiko dari setiap
kredit. Jika nilai CAR tinggi (sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia sebesar
8%) berarti bahwa bank tersebut mampu membiayai operasi bank, dan keadaan yang
menguntungkan tersebut dapat memberikan kontribusi yang cukup besar bagi
profitabilitas bank (ROA) yang bersangkutan. Rasio CAR dapat dirumuskan sebagai
berikut:
CAR =
Menurut Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/23/DPNP
tanggal 31 Mei 2004 Lampiran 1a, rasio CAR dapat dirumuskan sebagai
perbandingan antara modal bank terhadap aktiva tertimbang menurut resiko. Modal
bank adalah total modal yang berasal dari bank yang terdiri dari modal inti dan
modal pelengkap. Modal inti yaitu modal milik sendiri yang diperoleh dari modal
disetor oleh pemegang saham. Modal inti terdiri dari modal disetor, agio saham,
laba ditahan, laba tahun lalu, laba tahun berjalan, dan bagian kekayaan anak
perusahaan yang laporan keuangannya dikonsolidasikan. Modal pelengkap terdiri
dari cadangan revaluasi aktiva tetap, cadangan penghapusan aktiva yang
diklasifikasikan, modal kuasa, dan pinjaman subordinasi. Sedangkan ATMR
merupakan penjumlahan ATMR aktiva neraca dengan ATMR administratif. Sesuai dengan
aturan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia, besarnya CAR yang harus
dicapai oleh suatu bank minimal 8%. Menurut Siamat (2005:287), angka tersebut merupakan penyesuaian dari ketentuan
yang berlaku secara internasional berdasarkan standar Bank for International
Settlement (BIS).
2.3 Non Performing Financing (NPF)
Tingkat kelangsungan usaha bank berkaitan dengan aktiva produktif yang dimilikinya. Oleh karena itu,
manajemen bank dituntut untuk senantiasa dapat memantau dan menganalisis
kualitas aktiva produktif yang dimilikinya. Kualitas aktiva produktif
menunjukkan kualitas aset sehubungan dengan risiko kredit yang dihadapi oleh
bank akibat pemberian kredit dan investasi dana bank. Aktiva produktif yang
dinilai kualitasnya meliputi penanaman dana baik dalam rupiah maupun dalam
valuta asing, dalam bentuk kredit dan surat berharga.
Rasio NPF menunjukkan kemampuan manajemen bank dalam
mengelola kredit bermasalah digunakan
untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengelola kredit bermasalah yang
diberikan oleh bank. Risiko kredit yang diterima oleh bank merupakan salah satu
risiko usaha bank yang diakibatkan dari ketidakpastian dalam pengembaliannya
atau yang diakibatkan dari tidak dilunasinya kembali kredit yang diberikan oleh
pihak bank kepada debitur. Rasio NPF dapat dirumuskan sebagai berikut:
NPF =
Menurut Surat Edaran BI No. 3/30/DPNP tanggal 14
Desember 2001 Lampiran 14, NPF diukur dari rasio perbandingan antara kredit
bermasalah terhadap total kredit yang diberikan. NPF yang tinggi akan memperbesar
biaya, sehingga berpotensi terhadap kerugian bank. Semakin tinggi rasio ini
maka akan semakin buruk kualitas kredit bank yang menyebabkan jumlah kredit
bermasalah semakin besar. Oleh karena itu, bank harus menanggung kerugian dalam kegiatan
operasionalnya sehingga berpengaruh terhadap penurunan laba (ROA) yang
diperoleh bank. Kredit dalam hal ini adalah kredit yang diberikan kepada pihak
ketiga tidak termasuk kredit kepada bank lain. Kredit bermasalah adalah kredit
dengan kualitas kurang lancar (KL), diragukan (D) dan macet (M). Sesuai dengan
aturan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia, besarnya NPF yang baik adalah
di bawah 5%.
2.4 Operational Efficiency Ratio
(OER)
Rasio OER digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi
dan kemampuan bank dalam melakukan kegiatan operasinya. Mengingat kegiatan utama bank pada prinsipnya adalah bertindak
sebagai perantara, yaitu menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat, maka biaya
dan pendapatan operasional bank didominasi oleh biaya bunga dan hasil bunga. Setiap peningkatan biaya operasional akan
berakibat pada berkurangnya laba sebelum pajak yang pada akhirnya akan
menurunkan laba atau profitabilitas (ROA) bank yang bersangkutan. Rasio OER
dapat dirumuskan sebagai berikut:
OER =
Menurut Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/23/DPNP
tanggal 31 Mei 2004 Lampiran 1d, OER diukur dari perbandingan antara biaya
operasional terhadap pendapatan operasional. Rasio yang sering disebut rasio
efisiensi ini digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengendalikan
biaya operasional terhadap pendapatan operasional. Semakin kecil rasio, semakin efisien biaya operasional yang dikeluarkan
bank yang bersangkutan sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah
semakin kecil.
Biaya operasional merupakan biaya yang dikeluarkan
oleh bank dalam rangka menjalankan aktivitas usaha pokoknya (seperti biaya
bunga, biaya tenaga kerja, biaya pemasaran, dan lain-lain). Pendapatan
operasional merupakan pendapatan utama bank yaitu pendapatan bunga yang
diperoleh dari penempatan dana dalam bentuk kredit dan penempatan operasi
lainnya.
2.5 Financing to Deposit Ratio
(FDR)
Pengelolaan likuiditas merupakan masalah yang cukup
kompleks dalam kegiatan operasi bank, hal tersebut disebabkan karena dana yang
dikelola bank sebagian besar adalah dana dari masyarakat yang sifatnya jangka
pendek dan dapat ditarik sewaktu-waktu. Likuiditas suatu bank berarti bahwa
bank tersebut memiliki sumber dana yang cukup tersedia untuk memenuhi semua
kewajibannya (Siamat, 2005:336).
Salah satu penilaian likuiditas bank adalah dengan
menggunakan Financing to Deposit Ratio (FDR). FDR dijadikan variabel
independen yang mempengaruhi ROA didasarkan hubungannya dengan tingkat risiko
bank yang bermuara pada profitabilitas bank (ROA). Rasio FDR digunakan untuk
mengukur kemampuan bank tersebut apakah mampu membayar hutang-hutangnya dan
membayar kembali kepada deposannya, serta dapat memenuhi permintaan kredit yang
diajukan. Rasio FDR dapat dirumuskan sebagai berikut:
FDR
=
Menurut
Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004 Lampiran 1e, FDR
dapat diukur dari perbandingan antara seluruh jumlah kredit yang diberikan
terhadap dana pihak ketiga. Besarnya jumlah kredit yang disalurkan akan
menentukan keuntungan bank. Jika bank tidak mampu menyalurkan kredit sementara
dana yang terhimpun banyak maka akan menyebabkan bank tersebut rugi (Kasmir,
2004:71). Semakin tinggi FDR maka laba perusahaan semakin meningkat (dengan
asumsi bank mampu menyalurkan kredit dengan efektif, sehingga jumlah kredit
macetnya akan kecil).
3.
METODE
PENELITIAN
Penelitian
ini merupakan penelitian penjelasan (explanatory research) yaitu
penelitian yang menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel melalui
pengujian hipotesis. Variabel yang digunakan dalam penelitian
ini antara lain:
1. Return
On Assets
(Y)
ROA
digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh keuntungan
(laba sebelum pajak) yang dihasilkan dari total aset/total aktiva bank yang
bersangkutan.
2. Capital
Adequacy Ratio (X1)
CAR
adalah rasio kinerja bank yang digunakan untuk mengukur kecukupan modal yang
dimiliki bank dalam menutupi penurunan aktivanya sebagai akibat dari
kerugian-kerugian bank yang disebabkan oleh aktiva yang berisiko. Semakin
tinggi CAR maka semakin kuat kemampuan bank untuk menanggung risiko dari setiap
kredit atau aktiva produktif yang berisiko.
3. Non
Performing Financing (X2)
NPF
adalah rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam
mengelola kredit bermasalah yang diberikan oleh bank. Semakin tinggi rasio ini
maka akan semakin buruk kualitas kredit bank yang menyebabkan jumlah kredit
bermasalah semakin besar maka kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah
semakin besar.
4. Operational
Efficiency Ratio (X3)
OER
adalah rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi dan kemampuan bank
dalam melakukan kegiatan operasinya. Semakin rendah rasio ini berarti semakin
efisien biaya opersional yang dikeluarkan bank sehingga kemungkinan suatu bank
dalam kondisi bermasalah semakin kecil, sebaliknya keuntungan yang diperoleh
semakin besar.
5. Financing
to Deposit Ratio (X4)
FDR
adalah rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam pembiayaan
dengan menggunakan dana yang dihimpun dari pihak ketiga. Semakin tinggi rasio
ini, likuiditas semakin menurun karena jumlah dana yang diperlukan untuk
pembiayaan juga semakin banyak dan keuntungan yang diperoleh juga semakin
besar.
Populasi adalah
keseluruhan subyek penelitian (Arikunto, 2010:173), sedangkan sampel adalah
bagian dari populasi yang diambil melalui cara-cara tertentu yang juga memiliki
karakteristik tertentu, jelas, dan lengkap yang bisa mewakili populasi (Hasan,
2008:84). Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah bank syariah yang
beroperasi di Indonesia.
Teknik
pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampling
purposive, yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu
(Sugiyono, 2009:96). Pertimbangan pengambilan sampel dalam penelitian ini
adalah:
1. Bank
syariah yang terdaftar di Bank Indonesia
2. Bank syariah
yang tergabung dalam Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) Devisa.
3. Bank
syariah yang beroperasi sesuai dengan UU No. 21 Tahun 2008 dan mempublikasikan
laporan keuangan triwulan sesuai dengan periode penelitian tahun 2009-2012.
Sampel
yang diambil berdasarkan kriteria di atas adalah sebanyak 45 sampel yang
diperoleh dari 3 x 15 (perkalian antara jumlah bank dengan periode pengamatan),
terdiri dari laporan keuangan triwulan Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah
Mandiri, dan Bank Mega Syariah yang dimulai dari triwulan I tahun 2009 hingga
triwulan III tahun 2012.
Analisis
data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
1. Analisis
deskriptif adalah suatu analisis statistik yang digunakan untuk menganalisis
data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul
sebagaimana adanya untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
2. Analisis
inferensial merupakan metode statistik untuk penarikan kesimpulan atau
generalisasi untuk keseluruhan populasi atas dasar data sampel atau statistik
yang diselidiki. Analisis ini bertujuan untuk mengukur besarnya pengaruh.
Pelaksanaan dari analisis ini menggunakan beberapa alat bantu statistik, yaitu:
uji asumsi klasik dan analisis regresi linear berganda.
3.1 Uji
Asumsi Klasik
Model
regresi berganda dengan pendekatan metode kuadrat terkecil atau Ordinary
Least Square (OLS) yang dijadikan sebagai alat estimasi harus memenuhi uji
asumsi klasik, yaitu: uji normalitas, uji multikolinearitas, uji autokorelasi,
dan uji heteroskedastisitas.
a.
Uji Normalitas
Uji normalitas
digunakan untuk mengetahui apakah populasi data berdistribusi normal atau
tidak. Dalam uji ini akan digunakan uji Kolmogorov-Smirnov
dengan menggunakan taraf signifikan sebesar 0,05. Jika nilai Sig.>0,05 maka
data terdistribusi normal, namun jika nilai
Sig.<0,05 maka data tidak terdistribusi normal.
b.
Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji
apakah dalam
model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel
bebas.
Uji ini dapat dideteksi dengan melihat nilai VIF (Variance Inflation Factor)
dan Tolerance. Jika nilai VIF<10 dan Tolerance<0,01 maka tidak terjadi
multikolinearitas.
c.
Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi linear
ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan
pengganggu pada periode t-1 (sebelumnya). Metode
pengujian yang sering digunakan adalah dengan uji Durbin-Watson dengan
ketentuan adalah jika d terletak antara du dan 4-du
berarti tidak terjadi autokorelasi.
d.
Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas
ini digunakan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi terjadi
ketidaksamaan variance dari residual pada satu pengamatan ke
pengamatan yang lain. Uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Spearman’s
rank correlation dengan cara mengkorelasikan antara absolut residual hasil
regresi dengan semua variabel bebas. Bila signifikansi hasil korelasi>0,05
maka tidak terjadi heteroskedastisitas.
3.2 Analisis
Regresi Linear Berganda
Model
analisis regresi linear berganda pada penelitian ini diformulasikan sebagai
berikut:
Y = α + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + µ
Ket: Y =
ROA
α = konstanta
X1 = CAR
X2 = NPF
X3 = OER
X4 = FDR
β1 –
β4 = koefisien regresi
µ = standar error
3.3 Uji
Hipotesis
Uji
hipotesis dalam penelitian ini dapat dilakukan dengan menggunakan alat analisa
statistik berupa uji koefisien determinasi, uji F, uji t dan uji pengaruh
secara dominan.
a. Uji
koefisien determinasi (R2)
Koefisien
determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh kemampuan model
dalam menerangkan variasi variabel dependen
(Ghozali, 2011:15).
b. Uji F
Uji statistik F
menunjukkan apakah semua variabel independen
yang dimasukan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap
variabel dependen (Ghozali, 2011:16).
c. Uji t
Uji statistik t
menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel independen terhadap variabel
dependen dengan menganggap variabel independen lainnya konstan (Ghozali,
2011:17).
d. Uji
pengaruh secara dominan
Untuk mengetahui
seberapa besar kontribusi masing-masing variabel independen dan menjadi
variabel yang dominan berpengaruh terhadap variabel dependen pada model
regresi. Nilai Beta terbesar dalam standardized coefficients menunjukkan
bahwa variabel independen tersebut mempunyai pengaruh yang dominan terhadap
variabel dependen.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Uji
Asumsi Klasik
Pada
uji normalitas (tabel 4.1) dapat diketahui bahwa residual (galat)
menyebar normal karena nilai Sig. 0,063>0,05 sehingga dapat disimpulkan
asumsi normalitas terpenuhi.
Tabel
4.1 Hasil Uji Normalitas
N
|
Nilai Asymp.
Sig.
|
Keterangan
|
45
|
0,063
|
Menyebar
normal
|
Sumber: data sekunder (diolah)
Pada
uji multikolinearitas (tabel 4.2) dapat diketahui bahwa untuk semua variabel
independen nilai Tolerance > 0,1 dan VIF < 10, sehingga dapat disimpulkan
tidak terjadi multikolinearitas.
Tabel
4.2 Hasil Uji Multikolinearitas
Variabel
|
Tolerance
|
VIF
|
Keterangan
|
CAR
|
0,967
|
1,034
|
Tidak terjadi multikolinearitas
|
NPF
|
0,939
|
1,065
|
Tidak terjadi multikolinearitas
|
OER
|
0,964
|
1,037
|
Tidak terjadi multikolinearitas
|
FDR
|
0,927
|
1,079
|
Tidak terjadi multikolinearitas
|
Sumber: data sekunder
(diolah)
Pada
uji autokorelasi (tabel 4.3) dapat diketahui bahwa nilai Durbin Watson sebesar
2,253 terletak antara du dan 4-du yaitu 1,7200 < 2,253
< 2,2800 sehingga dapat disimpulkan tidak terjadi autokorelasi.
Tabel
4.3 Hasil Uji Autokorelasi
Nilai Durbin Watson
|
Keterangan
|
2,253
|
Tidak terjadi autokorelasi
|
Sumber: data sekunder
(diolah)
Pada
uji heteroskedastisitas (tabel 4.4) dapat diketahu bahwa nilai Sig. untuk semua
variabel independen > 0,05 sehingga dapat disimpulkan tidak terjadi
heteroskedastisitas.
Tabel
4.4 Hasil Uji Heteroskedastisitas
Variabel
|
Nilai Sig. (2-tailed)
|
Keterangan
|
CAR
|
0,687
|
Tidak terjadi
heteroskedastisitas
|
NPF
|
0,067
|
Tidak terjadi
heteroskedastisitas
|
OER
|
0,079
|
Tidak terjadi heteroskedastisitas
|
FDR
|
0,848
|
Tidak terjadi
heteroskedastisitas
|
Sumber: data sekunder
(diolah)
4.2 Analisis
Regresi Linear Berganda
Hasil
analisis regresi linear berganda dapat dilihat pada tabel 4.5. Berdasarkan
tabel 4.5 diperoleh persamaan regresi linear berganda sebagai berikut:
ROA = 8,692-0,035CAR-
0,097NPF-0,059OER-0,012FDR
Dari persamaan di atas dapat dijelaskan nilai
konstanta sebesar 8,692. Nilai ini menunjukkan bahwa jika tidak ada variabel
CAR, NPF, OER dan FDR, maka nilai ROA akan sebesar 8,692%.
Koefisien regresi CAR sebesar -0,035 menunjukkan
bahwa setiap kenaikan 1% nilai CAR akan menurunkan ROA sebesar 0,035% dengan
asumsi variabel independen lainnya tetap. Koefisien bernilai negatif artinya
terjadi hubungan negatif antara CAR dengan ROA. Hal ini juga terjadi pada
variabel NPF, OER dan FDR yang memiliki koefisien bernilai negatif dengan
masing-masing nilai koefisien regresinya sebesar -0,097, -0,059 dan -0,012.
Tabel
4.5
Coefficientsa
|
||||||
Model
|
Unstandardized Coefficients
|
Standardized Coefficients
|
t
|
Sig.
|
||
B
|
Std. Error
|
Beta
|
||||
1
|
(Constant)
|
8.692
|
2.047
|
|
4.247
|
.000
|
CAR
|
-.035
|
.075
|
-.059
|
-.470
|
.641
|
|
NPF
|
-.097
|
.069
|
-.180
|
-1.409
|
.166
|
|
OER
|
-.059
|
.013
|
-.563
|
-4.474
|
.000
|
|
FDR
|
-.012
|
.016
|
-.100
|
-.780
|
.440
|
|
a. Dependent Variable: ROA
|
4.3 Uji
Hipotesis
Pada uji koefisien determinasi (tabel 4.6) dapat
diketahui besarnya nilai Adjusted R Square sebesar 0,329. Hal ini
berarti bahwa 32,9% ROA dapat dijelaskan oleh 4 variabel bebas (CAR, NPF, OER
dan FDR), sedangkan sisanya 67,1% (100%-32,9%) ROA dipengaruhi oleh variabel
lain di luar 4 variabel bebas yang diteliti tersebut.
Tabel 4.6
Model Summaryb
|
||||
Model
|
R
|
R Square
|
Adjusted R Square
|
Std. Error of the Estimate
|
1
|
.624a
|
.390
|
.329
|
.63462
|
a. Predictors: (Constant), FDR, CAR,
OER, NPF
|
||||
b. Dependent Variable: ROA
|
Pada uji F (tabel 4.7) dapat diketahui bahwa secara
simultan variabel bebas (CAR, NPF, OER dan FDR) memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap ROA. Hal ini dibuktikan dari nilai signifikan sebesar 0,000
yang berarti nilai signifikannya < 0,05.
Tabel 4.7
ANOVAb
|
||||||
Model
|
Sum of Squares
|
df
|
Mean Square
|
F
|
Sig.
|
|
1
|
Regression
|
10.287
|
4
|
2.572
|
6.385
|
.000a
|
Residual
|
16.110
|
40
|
.403
|
|
|
|
Total
|
26.397
|
44
|
|
|
|
|
a. Predictors: (Constant), FDR, CAR,
OER, NPF
|
||||||
b. Dependent Variable: ROA
|
Berdasarkan hasil regresi pada uji t
(tabel 4.5), menunjukkan bahwa CAR tidak berpengaruh signifikan terhadap ROA.
Hal ini dikarenakan nilai Sig. > 0,05 yaitu sebesar 0,641. Hasil
persamaan regresi menunjukkan bahwa variabel CAR mempunyai koefisien regresi
negatif, maka dapat disimpulkan bahwa variabel CAR mempunyai hubungan
berlawanan terhadap ROA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin besar CAR
belum tentu berpengaruh terhadap meningkatnya ROA karena beban operasional
akibat perluasan jaringan kantor cabang yang terlalu besar dan proporsi
pembiayaan bermasalah menyebabkan turunnya laba yang dicapai sehingga tidak
mampu menunjang ketersediaan modal yang mencukupi. Dengan kata lain, jika
bertambahnya CAR tersebut diikuti dengan penambahan aktiva kurang produktif
seperti penyaluran pembiayaan yang kurang optimal maupun penambahan aktiva
tetap akibat perluasan jaringan kantor cabang yang tidak ditunjang dengan
peningkatan pembiayaan, maka tidak akan menghasilkan aliran kas yang optimal
bagi perusahaan.
Pengaruh NPF terhadap ROA dapat dilihat dari nilai
Sig. (tabel 4.5) > 0,05 yaitu sebesar 0,166. Hal ini menunjukkan bahwa NPF
tidak berpengaruh signifikan terhadap ROA. Hasil persamaan regresi menunjukkan
bahwa variabel NPF mempunyai koefisien regresi negatif, maka dapat disimpulkan
bahwa variabel NPF mempunyai hubungan berlawanan terhadap ROA. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa rata-rata tingkat NPF bank syariah masih tergolong rendah
yaitu 3,79%, meskipun rata-rata NPF dibawah 5% namun ada periode dimana bank
syariah mempunyai NPF diatas 5% (triwulan III tahun 2009 pada Bank Muamalat
Indonesia sebesar 8,86%). Hal ini yang menyebabkan NPF tidak berpengaruh
signifikan terhadap ROA. Kualitas kredit yang buruk akan meningkatkan risiko,
terutama jika pemberian kredit dilakukan dengan tidak menerapkan prinsip
kehati-hatian sehingga bank akan menanggung risiko. Terdapatnya kredit
bermasalah menyebabkan kredit yang disalurkan tidak banyak memberikan hasil.
Pengaruh OER terhadap ROA dapat dilihat dari nilai
Sig. (tabel 4.5) < 0,05 yaitu sebesar 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa OER
berpengaruh signifikan terhadap ROA. Hasil persamaan regresi menunjukkan bahwa
variabel OER mempunyai koefisien regresi negatif, maka dapat disimpulkan bahwa
variabel OER mempunyai hubungan berlawanan terhadap ROA. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa jika OER meningkat, maka
ROA yang diperoleh akan menurun. Hal ini disebabkan karena tingkat efisiensi
bank dalam menjalankan kegiatan operasionalnya berpengaruh terhadap tingkat
profitabilitas bank tersebut. Jika kegiatan operasional dilakukan dengan
efisien (OER rendah) maka pendapatan yang dihasilkan bank tersebut akan naik
sehingga kinerja keuangan bank semakin meningkat.
Pengaruh FDR terhadap ROA dapat dilihat dari nilai
Sig. (tabel 4.5) > 0,05 yaitu sebesar 0,440. Hal ini menunjukkan bahwa FDR
tidak berpengaruh signifikan terhadap ROA. Hasil persamaan regresi menunjukkan
bahwa variabel FDR mempunyai koefisien regresi negatif, maka dapat disimpulkan
bahwa variabel FDR mempunyai hubungan berlawanan terhadap ROA. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa semakin tinggi FDR belum tentu berpengaruh terhadap
meningkatnya ROA karena besarnya pembiayaan yang diberikan oleh bank namun
tidak diimbangi dengan penambahan jumlah dana pihak ketiga (DPK) yang dihimpun.
Hal ini menyebabkan besarnya piutang yang belum diterima akan mengurangi kas
sehingga menimbulkan hubungan yang negatif terhadap profitabilitas.
Pada uji pengaruh secara dominan (tabel 4.5), nilai
dari koefisien Beta pada Standardized Coefficients telah diberi
nilai mutlak untuk menghindari adanya kerancuan akibat nilai dari Beta
yang bernilai negatif. Nilai negatif dan positif tersebut hanya menunjukkan
arah dari koefisien. Nilai Beta terbesar pada Standardized
Coefficients adalah 0,563 sehingga dapat dikatakan variabel yang paling berpengaruh
terhadap ROA adalah OER.
5.
PENUTUP
Berdasarkan
hasil analisis data dan pembahasan yang sudah diuraikan maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Rasio
Capital Adequacy Ratio (CAR), Non Performing Financing (NPF), Operational
Efficiency Ratio (OER) dan Financing to Deposit Ratio (FDR)
berpengaruh secara simultan terhadap Return On Assets (ROA) Bank
Syariah. Penggunaan keempat variabel independen tersebut dalam model regresi
dapat digunakan untuk menentukan nilai variabel dependen yaitu tingkat profitabilitas
(ROA).
2. Variabel
CAR berpengaruh negatif namun tidak signifikan terhadap ROA Bank Syariah.
Penyebabnya karena beban operasional akibat perluasan jaringan kantor cabang
yang menyebabkan turunnya laba sehingga ketersediaan modal tidak mencukupi. Hal
ini membuktikan bahwa peran kecukupan modal bank syariah dalam menjalankan
kegiatan operasionalnya tidak terlalu mempengaruhi ROA.
3. Variabel
NPF berpengaruh negatif namun tidak signifikan terhadap ROA Bank Syariah. Pada
periode penelitian rata-rata tingkat NPF bank syariah masih tergolong rendah
yaitu di bawah 5%, namun masih terdapat NPF di atas 5% yang menyebabkan NPF tidak
berpengaruh signifikan. Terdapatnya kredit bermasalah menyebabkan kredit yang
disalurkan tidak banyak memberikan hasil
4. Variabel
OER berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ROA Bank Syariah. Semakin
tinggi OER maka kegiatan operasional bank tidak efisien, sehingga kinerja
keuangan bank menurun. Sebaliknya semakin rendah OER maka kegiatan operasional
bank semakin efisien, sehingga dapat disimpulkan kinerja keuangan bank semakin
meningkat.
5. Variabel
FDR berpengaruh negatif namun tidak signifikan terhadap ROA Bank Syariah.
Besarnya pembiayaan yang diberikan oleh bank namun tidak diimbangi dengan
penambahan jumlah dana pihak ketiga (DPK) menyebabkan besarnya piutang yang
belum diterima akan mengurangi kas sehingga FDR akan berpengaruh negatif
terhadap ROA.
Adapun
saran-saran yang dapat diberikan melalui penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi
Perusahaan
Munculnya
variabel Operational Efficiency Ratio (OER) sebagai variabel yang
dominan terhadap Return On Assets (ROA) perusahaan khususnya bank
syariah di Indonesia maka sebaiknya bank syariah lebih menekan biaya
operasional yang mereka keluarkan sehingga dapat menekan laba perusahaan
2. Bagi
Penelitian Selanjutnya
a. Sebaiknya
mempertimbangkan penggunaan sampel dari bank syariah yang tergabung dalam BUSN
Devisa dan beroperasi di Indonesia serta mempertimbangkan waktu pengamatan yang
lebih lama sehingga diharapkan memperoleh hasil penelitian yang lebih baik.
b. Diharapkan
menggunakan variabel-variabel lain yang belum disebutkan dalam penelitian ini
sehingga dapat memperoleh hasil penelitian yang lebih akurat.
DAFTAR
PUSTAKA
Arifin,
Zainul. 2005. Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah. Cetakan 3. Jakarta:
Pustaka Alvabet.
Arikunto,
Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktis. Edisi
Revisi 2010. Jakarta: Rineka Cipta.
Dendawijaya,
Lukman. 2009. Manajemen Perbankan. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Ghozali,
Imam. 2011. Ekonometrika; Teori, Konsep, dan Aplikasi dengan SPSS 17.
Cetakan 2. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Hasan,
M. Iqbal. 2008. Pokok-Pokok Materi Statistik 2 (Statistik Inferensif).
Edisi 2. Cetakan 5. Jakarta: Bumi Aksara.
Kasmir.
2004. Manajemen Perbankan. Cetakan 5. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Riyadi,
S. 2006. Banking Assets and Liability Management. Edisi 3. Jakarta:
Lembaga Penerbit FE UI.
Siamat,
Dahlan. 2005. Manajemen Lembaga Keuangan; Kebijakan Moneter dan Perbankan.
Edisi 5. Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI.
Sugiyono.
2009. Metode Penelitian Administrasi Dilengkapi Dengan Metode R & D.
Cetakan 17. Bandung: CV. Alfabeta.
Sumber :
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&cad=rja&uact=8&ved=0CFgQFjAG&url=http%3A%2F%2Fadministrasibisnis.studentjournal.ub.ac.id%2Findex.php%2Fjab%2Farticle%2Fview%2F55%2F57&ei=OilsVeLfLdWQuATwyIHYDg&usg=AFQjCNEe20yTs5NR4g2CJrIk-LpvVfEKAQ&bvm=bv.94455598,d.c2E
0 komentar:
Posting Komentar